Rabu, 16 Maret 2016

Sejarah dan Kebudayaan Suku Tidung

Suku Tidung Merupakan suku yang tanah asalnya berada di bagian utara kalimantan timur. Suku ini juga merupakan anak negeri di Sabah, jadi merupakan suku bangsa yang terdapat di indonesia maupun malaysia (negeri Sabah). Suku Tidung semula memiliki kerajaan yang disebut Kerajaan Tidung. Tetapi akhirnya punah karena adanya politik adu domba oleh pihak Belanda.
Bahasa Tidung
Bahasa Tidung dialek Tarakan merupakan bahasa Tidung yang pertengahan karena dipahami oleh semua warga suku Tidung. Beberapa kata bahasa Tidung masih memiliki kesamaan dengan bahasa Kalimantan lainnya. Kemungkinan suku Tidung masih berkerabat dengan suku Dayak rumpun Murut (suku-suku Dayak yang ada di Sabah). Karena suku Tidung beragama Islam dan mengembangkan kerajaan Islam sehingga tidak dianggap sebagai suku Dayak, tetapi dikategorikan suku yang berbudaya Melayu (hukum adat Melayu) seperti suku Banjar, suku Kutai, dan suku Pasir.
Adat Istiadat
https://selumit.files.wordpress.com/2011/10/rumah-adt-fb-copy.jpg
Suku Dayak Tidung diyakini sebagai salah satu dari 406 Suku Dayak yang tersebar di Pulau Kalimantan. Penggunaan kata "Dayak" pada suku tersebut berangsur hilang sehingga kini lebih akrab dengan nama Suku Tidung. Kalimantan Utara merupakan tanah asal dari suku ini, meliputi Kota Tarakan, Kab.Malinau, Kab. Bulungan, Kab. Nunukan, Kab. Tana Tidung, Kab. Berau dan Kab.Kutai Kartanegara. Keberadaan Suku Tidung pun menyebar hingga ke beberapa daerah di Malaysia seperti Kota Tawau, Kota Sandakan dan Kota Lahad Datu.

Mulanya Suku Tidung berdiri sebagai Kerajaan Tidung pada 1076, namun akhirnya punah karena adanya politik adu domba oleh pihak Belanda. Mayoritas Suku Tidung beragama Islam sehingga lebih dikategorikan sebagai suku yang berhukum adat Melayu, seperti Suku Banjar, Suku Kutai dan Suku Pasir.

Salah satu pusaka budaya yang dimiliki Tidung adalah rumah adat yang disebut Rumah Baloy. Bentuk Rumah Baloy lebih modern karena hasil pengembangan arsitektur Rumah Panjang (Rumah Betang). Rumah dibangun menghadap ke utara, namun pintu utamanya melawan arah menghadap keselatan. Seluruh badan rumah dibuat menggunakan kayu ulin, kayu dari Kalimantan yang sangat kuat dan tahan terhadap suhu, kelembaban serta air laut.

Ruangan pada Rumah Baloy sering disebut ambir. Terdapat empat ambir pada satu rumah yang digunakan untuk fungsi yang berbeda-beda, yaitu: alat kait atau ambir kiri untuk menerima pengaduan masalah adat atau perkara lain, lamin bantong atauambir tengah untuk memutuskan perkara hasil sidang, ulat kemagot atau ambir kanan sebagai tempat beristirahat setelah berdamai, dan lambir dalom sebagai singgasana Kepala Adat tidung.

Bagian belakang Rumah Baloy tidak dibiarkan kosong, dibuatlah kolam besar dan sebuah bangunan di tengah-tengahnya yang disebut lubung kilong. Bangunan digunakan untuk menampilkan kesenian Suku Tidung, seperti tari japen. Tidak jauh dari lubung kilong didirikan lagi satu bangunan besar yang digunakan untuk acara pelantikan, bangunan ini disebut lubung intamu.

Anda bisa mengunjungi Rumah Baloy di daerah Juwata, Kota Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara. Rumah ini dibangun pada 4 April 2004 dan diresmikan oleh Yurnalis Ngayoh, Gubernur Kalimantan Timur, karena ketika itu Provinsi Kalimantan Utara masih menjadi bagian dari Kalimantan Timur. Baloy Mayo Djamaloel Qiram sebutannya, dibangun di atas lahan seluas 2,5 ha dari dana pribadi Kepala Adat Besar Dayak Tidung, Mochtar Basry Idris.

Pengunjung tidak akan ketinggalan informasi karena disediakan pemandu yang akan member penjelasan mengenai Rumah Baloy dan Suku Tidung. Selain bangunan utama dan bangunan di tengah kolam, Anda juga dapat melihat 11 bangunan lain di sekitar rumah adat. Hampirilah perahu tradisional Suku Tidung yang ditambatkan di kolam untuk mengabadikan gambarnya, dan jangan lewatkan membeli souvenir khas Tidung yang disediakan di Rumah Baloy ini.

Tari Jepin, Kesenian Suku Tidung

Menurut budayawan Tidung, Datuk Noerbeck, Tari Jepin berasal dari pengaruh budaya Arab Zapin yang masuk ke Indonesia. Budaya tersebut kemudian beradaptasi dengan budaya lokal suku Tidung. 
Tari Jepin ternyata tidak hanya menjadi milik Indonesia khususnya Kalimantan Timur. Dan lagi-lagi yang mengklaim aset budaya Indonesia tersebut adalah Malaysia. Namun, budayawan Tidung menilai wajar jika Negeri Jiran turut mengklaim tari Jepin sebagai budaya asli mereka. 
Di Malaysia, suku Tidung juga tersebar di sejumlah wilayah seperti Sabah dan Tawau. Karenanya, jika Malaysia mengklaim Tari Jepin dinilai wajar. Selain itu, Tari Jepin diperkirakan tersebar dibeberapa negara di Asia Tenggara seperti Indonesia, Brunai Darusalam, Philipina. 
Musik dan gerak dasar Tari Jepin hampir memiliki kesamaan namun cerita dalam tari tersebut berbeda. Seperti yang telah Datuk Noerbeckk ciptakan yaitu Tari Jepin Untun Belanay dan Suara Siam. Rencananya, kedua judul tari tersebut akan di patenkan bersama beberapa kesenian Tidung lainnya seperti Hadrah Tidung dan sejumlah ritual yang menggunakan alat musik khususnya Lintangan, Dul Muluk atau pertunjukan drama.

Potret budaya masyarakat suku Tidung

220px-suku-tidung.jpg

Suku kaum Tidung adalah suku kaum rumpun Melayu yang banyak terdapat di tenggara Sabah yaitu sekitar daerah Tawau dan Sebatik. Selain itu, suku Tidung juga dapat di jumpai beberapa tempat di Indonesia seperti:Tidung Tarakan, Tidung Nunukan, Tidung Sembakung , Tidung Sesayap dan Tidung Malinau kemudian masyarakat Tidung ini menduduki kawasan memanjang mulai daerah Beluran, Sandakan hingga ke Tawau ( Apas , Merotai dan Kalabakan} ,Sembakung dan Malinau di Indonesia. Asalnya Tanah Tidung yang dimaksudkan adalah mencakupi kawasan dari daerah Beluran di Sandakan seterusnya di kawasan Batu Tinaga dengan jumlah populasi suku Tidung mencapai 250.000 di Indonesia ,58.000(Malaysia)

Kehidupan masyarakat suku Tidung yang memiliki rumpun melayu ini dikenal memiliki pola hidup sederhana,namun menariknya masyarakat Tidung sebagaimana dilansir Folksofbatak.wordpress.com tanggal 3 Maret 2014 telah mengenal pengobatan dimana prosesi pengobatan orang yang menjadi pengantaranya disebut “TOK BOMOH”. Sebelum sepenuhnya masuk Islam, orang Tidung mengenal tradisi pengobatan semacam “belian” dimana orang-orang Tidung akan berdialog dengan kekuatan alam gaib dan membuat KELANGKANG MAHLIGAI untuk diantar kesuatu tempat atau pohon besar yang dipercaya sebagai media untuk berdialog dengan kekuatan gaib tersebut. Sewaktu upacara itu berlangsung, dua orang pelaku memainkan peranan yang dikenali sebagai PUNGGUR dan SUWANU. Mereka akan membawa KELANGKANG MAHLIGAI sambil menaburkan wangi-wangian yang diambil dari bunga-bungaan setelah itu mereka akan membawa air embun yang diambil dari puncak gunung sebagi obat. Sewaktu mereka menari mengelilingi orang yang sakit, air embun itu akan dipercikan ke tubuh orang yang sakit tadi. Cerita kepercayaan dan tradisi Suku Tidung dalam syair yang disebut SELUDEN berisi legenda, hikayat para pahlawan, pendekar, raja. Cerita yang paling terkenal adalah Raja Alam

Masyarakat suku Tidung mayoritas beragama Islam dan memiliki corak budaya Melayu, tetapi kehidupan suku Tidung masih memiliki unsur-unsur agama leluhurnya masuk didalam ritus dan adatnya baik itu dalam aspek perkawinan, kelahiran, pengobatan dll. Orang Tidung pada mulanya sebagaimana dilansir Foksofdayak.wordpress.com tanggal 3 Maret 2014 mempercayai akan dewa-dewa yang mendiami Kayangan, gunung-gunung dan bukit-bukit, mereka percaya bahwa dewa ini mempunya kekuatan untuk menyembuhkan bermacam sakit penyakit – salah satu tempat keramat orang Dayak Berusu di Tana Tidung adalah Air terjun gunung Rian dan disana terdapat kuburan Dayak yang mirip dengan Sandung tempat menaruh tulang belulang orang yang dilakukan upacara secondary burial seperti yang dilakukan oleh Dayak Ngaju, Maanyan, Benuaq

Kehidupan masyarakat suku Tidung yang menarik adalah adat istiadatnya salah satunya saat bulan Safar yang terdapat dalam kalender Penanggalan Hijriyah(Islam), menurut kepercayaan masyarakat suku kaum Tidung adalah bulan waktu diturunkannya malapetaka/bala. Jadi agar terhindar dari malapetaka/bala, maka setiap anak dari suku kaum Tidung yang lahir pada bulan safar haruslah mengadakan Tradisi Betimbang asebanyak tiga kali dimana pelaksanaan Tradisi Betimbang adalah pada setiap bulan Safar. Tatacara pelaksana sang Anak duduk di atas Timbangan yang telah dibuat sedemikian rupa, sementara kitab Suci Alqur'an, Sayur-sayuran, dan Makanan di simpan di atas timbangan lainnya, sehingga kedudukannya menjadi seimbang. setelah itu anak diturunkan, dan digantikan dengan sayur-sayuran dan buah-buahan yang lainnya

Suku Tidung yang menetap diwilayah Kalimantan utara dan kalimantan Timur meliputi Tarakan-Nunukan, Bulungan, Sembakung dan Belusu’ / berusu. Orang dengan dialek Tarakan-Nunukan kebanyakan berada di Pulau Tarakan, Nunukan dan Sesayap – mereka ini menyebut dirinya Orang Tidung. Sedangkan orang dialek Bulungan yang merupakan migrasi dari Tarakan dan mediami Sungai Kayan menyebut dirinya sebagai Orang Bulungan, yang berumpun Sembakung menyebut dirinya orang Dayak Tingalan dan Dayak Agagbag mereka ini tinggal disepanjang Sungai Sembakung dan Sebuku. Dan Berusu yang tinggal disepanjang Sungai Malinau dan Sekatak disebut Dayak Berusu dan Dayak Abai.Suku Tidung yang memiliki rumpun Melayu ini diduga kuat masih memiliki hubungan kekerabatan dengan suku Dayak rumpun Marut atau suku-suku Dayak yang ada di negeri Sabah ,Malaysia ,meski sampai sekarang orang-orang Tidung /lembaga suku Tidung tidak mengakuinya .Pasca pemberontakan suku Tidung dengan suku pendatang baru di kota Tarakan beberapa tahun lalu masyarakat Tidung mulai mengakui mereka keturunan Dayak Tidung
Budaya suku Tidung hingga kini masih bertahan salah satunya masyarakat yang ada di kota Tarakan yang penduduknya mayoritas suku Tidung dan diduga kota ini dulu menjadi pusat Kerajaan Tidung terlihat beragam corak seni budayanya membuat Tarakan disebut Kota Punakan.

Nilai-nilai Kebudayaan masyarakat TOLAKI

ota Kendari terdiri dari beberapa suku bangsa, salah satunya adalah suku bangsa Tolaki. Suku ini merupakan suku asli di daratan Sulawesi Tenggara selain suku Muna dari Pulau Muna dan Suku Buton yang berasal dari pulau Buton. Sekitar abad ke-10 daratan Sulawesi Tenggara memiliki dua kerajaan besar yaitu kerajaan Konawe (wilayah Kabupaten Konawe) dan Kerajaan Mekongga (Wilayah Kabupaten Kolaka) secara umum kedua Kerajaan ini serumpun dan dikenal sebagai suku Tolaki. Dalam artikel ini saya akan membahas secara singkat tentang Kebudayaan masyarakat Tolaki.
Dalam perjalanan sejarah Kerajaan Konawe yang berkedudukan di Unaaha pernah menerapkan perangkat pemerintahan yang dikenal dengan SIWOLE MBATOHU sekitar tahun 1602/1666 yaitu :
1) Tambo I ´Losoano Oleo
2) Tambo I´ Tepuliano Oleo
3) Bharata I´Hana;
4) Bharata I´ Moeri
Ditengah-tengah kehidupan sosial kemasyarakatan mereka terdapat satu simbol peradaban yang mampu mempersatukandari berbagai masalah atau persoalan yang mampu mengangkat martabat dan kehormatan mereka disebut: “KALO SARA”serta kebudayaan Tolaki ini yang lahir dari budi, tercermin sebagai cipta rasa dan karsa akan melandasi ketentraman, kesejahteraan kebersamaan dan kehalusan pergaulan dalam bermasyarakat.
Didalam berinteraksi sosial kehidupan bermasyarakat terdapat nilai-nilai luhur lainnya yang merupakan Filosofi kehidupan yang menjadi pegangan , adapun filosofi kebudayaan masyarakat tolaki dituangkan dalam sebuah istilah atau perumpamaan, antara lain sebagai berikut :
 Budaya O’sara (Budaya patuh dan setia dengan terhadap putusan lembaga adat), masyarakat Tolaki merupakan masyarakat lebih memilih menyelesaikan secara adat sebelum dilimpahkan/diserahkan ke pemerintah dalam hal sengketa maupun pelanggaran sosial yang timbul dalam masyarakat tolaki, misalnya dalam masalah sengketa tanah, ataupun pelecehan. Masyarakat tolaki akan menghormati dan mematuhi setiap putusan lembaga adat. Artinya masyarakat tolaki merupakan masyarakat yang cinta damai dan selalu memilih jalan damai dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
 Budaya Kohanu (budaya malu), Budaya Malu sejak dulu merupakan inti dari pertahanan diri dari setiap pribadi masyarakat tolaki yang setiap saat, dimanapun berada dan bertindak selalu dijaga, dipelihara dan dipertahankan. Ini bisa dibuktikan dengan sikap masyarakat Tolaki yang akan tersinggung dengan mudah jika dikatakan , pemalas, penipu, pemabuk, penjudi dan miskin, dihina, ditindas dan sebagainya. Budaya Malu dapat dikatakan sebagai motivator untuk setiap pribadi masyarakat tolaki untuk selalu menjadi lebih kreatif, inovatif dan terdorong untuk selalu meningkatkan sumber dayanya masing-masing untuk menjadi yang terdepan.
 Budaya Merou (Paham sopan santun dan tata pergaulan), budaya ini merupakan budaya untuk selalu bersikap dan berperilaku yang sopan dan santun, saling hormat-menghormati sesama manusia. Hal ini sesuai dengan filosofi kehidupan masyarakat tolaki dalam bentuk perumpamaan antara lain sebagai berikut:
Ø “Inae Merou, Nggoieto Ano Dadio Toono Merou Ihanuno”
Artinya :
Barang siapa yang bersikap sopan kepada orang lain, maka pasti orang lain akan banyak sopan kepadanya.
Ø “Inae Ko Sara Nggoie Pinesara, Mano Inae Lia Sara Nggoie Pinekasara”
Artinya :
Barang siapa yang patuh pada hukum adat maka ia pasti dilindungi dan dibela oleh hukum, namun barang siapa yang tidak patuh kepada hukum adat maka ia akan dikenakan sanksi / hukuman
Ø “Inae Kona Wawe Ie Nggo Modupa Oambo”
Artinya :
Barang siapa yang baik budi pekertinya dia yang akan mendapatkan kebaikan
 Budaya “samaturu” “medulu ronga mepokoo’aso” (budaya bersatu, suka tolong menolong dan saling membantu), Masyarakat tolaki dalam menghadapi setiap permasalahan sosial dan pemerintahan baik itu berupa upacara adat,pesta pernikahan, kematian maupun dalam melaksanakan peran dan fungsinya sebagai warga negara,selalu bersatu, bekerjasama, saling tolong menolong dan bantu-membantu .
 Budaya “taa ehe tinua-tuay” (Budaya Bangga terhadap martabat dan jati diri sebagai orang tolaki), budaya ini sebenarnya masuk kedalam “budaya kohanu” (budaya malu) namun ada perbedaan mendasar karena pada budaya ini tersirat sifat mandiri,kebanggaan, percaya diri dan rendah hati sebagai orang tolaki .
Mudah-mudahan dari sekian banyak nilai-nilai budaya masyarakat Tolaki yang ada, apa yang saya berikan pada artikel ini bisa lebih membuka mata dan memberi sedikit gambaran tentang kebudayaan Masyarakat Tolaki.
Khasanah kehidupan masyarakat di Kota Kendari Khususnya dan Sulawesi Tenggara Umumnya bukan hanya dipengaruhi oleh nilai-nilai luhur suku bangsa Tolaki tetapi juga oleh masyarakat suku lainnya yang berada di “bumi anoa”, kesemuanya menjadi daya perekat dalam kehidupan bemasyarakat di daerah ini .kerukunan antar ummat beragama juga memberi warna tersendiri ditengah- tengah kepercayaan dan keyakinan untuk menyerahkan diri kepada Tuhannya masing-masing.

kebudayaan dan kesenian suku tengger



A. Pengertian Suku Tengger
Suku tengger adalah suku yang tinggal disekitar gunung bromo, jawa timur yakni menempatati sebagian wilayah kabupaten pasuruan, kabupaten probolinggo, dan kabupaten malang. Komunitas suku tengger berkisar antara 500 ribu orang yang tersebar di tiga kabupaten tersebut. Etnis yang paling terdekat dengan suku tengger adalah suku jawa namun terdapat perbedaan yang sangat menonjol antara keduanya, terutama dari sistem kebudayaannya.

B. Asal usul terbentuknya Suku Tengger
Suku tengger terbentuk sekitar abad ke sepuluh saat kerajaan majapahit mengalami kemunduran dan saat Islam mulai menyebar. Pada saat itu kerajaan majapahit diserang dari berbagai daerah, sehingga bingung mencari tempat pengungsian. Demikian juga dengan dewa-dewa mulai pergi bersemayam di sekitar gunung bromo, yaitu dilereng gunung pananjakan, di sekitar situ juga tinggal seorang pertapa yang suci. Suatu hari istrinya melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan, wajahnya bercahaya, menampakan kesehatan dan kekuatan yang luar biasa. Untuk itu anak tersebut diberi nama Joko Seger, yang artinya joko yang sehat dan kuat.


Disekitar gunung itu juga lahir bayi perempuan titisan dewa, wajahnya cantik dan elok, waktu dilahirkan bayi itu tidak menangis, diam dan begitu tenang. Sehingga anak tersebut diberi nama Roro Anteng, yang artinya Roro yang tenang dan pendiam. Semakin hari Joko Seger tumbuh menjadi seorang lelaki dewasa begitupun Roro Anteng juga tumbuh menjadi seorang perempuan yang cantik dan baik hati. Roro Anteng telah terpikat pada Joko Seger, namun pada suatu hari ia dipinang oleh seorang Raja yang terkenal sakti, kuat, dan jahat. Sehingga ia tidak berani menolak lamarannya. Kemudian Roro Anteng mengajukan persyaratan pada pelamar itu agar dibuatkan lautan di tengah gunung dalam waktu satu malam. Pelamar itu mengerjakan dengan alat sebuah tempurung kelapa (batok kelapa). Dan pekerjaan itu hampir selesai, melihat kenyataan itu hati Roro Anteng gelisah dan memikirkan cara menggagalkannya, Kemudian Roro Anteng mulai menumbuk padi ditengah malam. Sehingga membangunkan ayam-ayam, ayam-ayam pun mulai berkokok seolah-olah fajar sudah menyingsing. Raja itu marah karena tidak bisa memenuhi permintaan Roro Anteng tepat pada waktunya. Akhirnya batok yang ia gunakan untuk mengeruk pasir tersebut dilemparnya hingga tertelungkup di dekat gunung bromo dan berubah menjadi sebuah gunung yang dinamakan gunung batok. Dengan kegagalan raja tadi akhirnya Roro Anteng menikah dengan Joko Seger. Dan membangun sebuah pemukiman kemudian memerintah dikawasan tengger tersebut dengan nama Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger. Yang artinya Penguasa Tengger yang budiman. Nama tengger di ambil dari gabungan akhir suku kata Roro Anteng dan Joko Seger. Tengger juga berarti moral tinggi, simbol perdamaian abadi.

Roro Anteng dan Joko Seger belum juga dikaruniai momongan setelah sekian tahun menikah, maka diputuskan untuk naik kepuncak gunung bromo. Tiba-tiba ada suara gaib menyatakan jika mereka ingin mempunyai anak mereka harus bersemedi agar doa nya terkabul dengan syarat apabila mendapatkan keturunan anak bungsu harus dikorbankan ke kawah gunung bromo. Akhirnya merekapun mendapatkan keturunan 25 orang putra dan putri. Namun Roro Anteng mengingkari janjinya maka terjadilah gunung bromo menyemburkan api, dan anak bungsunya “Kesuma” dijilat api dan masuk ke kawah gunung bromo, kemudian terdengarlah suara gaib, bahwa kesuma telah dikorbankan, dan Hyang Widi telah menyelamatkan seluruh penduduk, maka penduduk harus hidup tentram damai dengan menyembah Hyang Widi, selain penduduk juga di peringatkan bahwa setiap bulan kasada pada hari ke empat belas mengadakan sesaji ke kawah gunung bromo, dan kebiasaan tersebut diikuti sampai sekarang oleh masyarakat tengger dengan mengadakan upacara yang disebut Kesada setiap tahunnya.

A. Sistem Kebudayaan Suku Tengger.
Menurut C Kluckhon dalam bukunya categories of culture menemukakan sistem kebudayaan yang secara Universal dimiliki oleh seluruh masyarat didunia, yang unsur-unsurnya meliputi sistem bahasa , sistem kesenian, sistem teknologi, sistem religi, sistem kemasyarakatan, sistem pengetahuan dan sistem mata pencarian. Pada masyarakat suku Tengger Unsur-unsur kebudayaan universial itu sebagai berikut :

1. Sistem Bahasa
Bahasa yang digunakan oleh suku tengger adalah bahasa jawa tapi dialek yang digunakan berbeda yaitu dialek tengger. Dialek tengger dituturkan di daerah gunung brom termasuk di wilayah pasuruan, probolinggo, malang dan lumanjang. Dialek ini dianggap turunan bahasa kawi, dan banyak mempertahankan kalimat-kalimat kuno yang sudah tidak digunakan dalam bahasa jawa modern.

1. Sistem Kesenian
- Seni Tari
Tari yang biasa dipentaskan adalah tari Roro Anteng dan Joko Seger yang dimulai sebelum pembukaan upacara Kasada.
- Seni bangunan
Bangunan untuk peribadatan berupa pura disebut punden, danyam, dan poten. Poten adalah sebidang tanah dilautan pasir sebagai tempat berlangsungnya upacara Kasada. Poten dibagi menjadi tiga mandala atau zone yaitu :

1. mandala utama disebut jeroan yaitu tempat pelaksanaan pemujaan yang terdiri dari padma, bedawang, nala, bangunan sekepat, dan kori agung candi bentar.
2. mandala madya atau zone tengah, disebut juga jaba tengah yaitu tempat persiapan pengiring upacara yang terdiri dari kori agung candi bentar bale kentongan, dan Bale Bengong.
3. mandala nista atau zone depan, disebut juga jaba sisi yaitu tempat peralhian dari luar kedalam pura yang terdiri dari bangunan candi bentar dan bangunan penunjang lainnya.

1. Sistem Teknologi
Seiring dengan banyak pengaruh yang masuk kedalam masyarakat tradisional seperti melalui pariwisata atau teknolgi komunikasi terilah culturual change dan perubahan kebudayaan sehingga sistem teknologi juga berkembang seperti halnya masyarakat jawa modern.
1. Sistem Religi
Agama yang dianut sebagian besar suku tengger adalah Hindu, Islam dan Kristen. Masyarakat tengger dikenal taat dengan aturan agama Hindu. Mereka yakin merupakan keturunan langsung dari majapahit. Gungung brahma (Bromo) dipercayai sebagai gunung suci dengan mengadakan berbagai macam upacra-upacara yang dipimpin oleh seorang dukun yang sangat dihormati dan disegani. Masyarakat tengger bahkan lebih memilih tidak mempunyai kepala pemerintahan desa dari pada tidak memiliki pemimpin ritual. Para dukun pandita tidak bisa di jabat oleh sembarang orang, banyak persyaratan yang harus dipenuhi sebagai perantara doa-doa mereka. Upacara-upacara yang dilakukan masyarakat tengger diantaranya.

1.
a. Yahya kasada, Upacara ini ilakukan pada 14 bulan kasada, mereka membawa ongkek yang berisi sesaji dari hasil pertanian, ternak dan sebagainya. Lalu dilemparkan kekawah gunung bromo agar mendapatkan berkah dan diberikan keselamatan oleh yang maha kuasa.
b. Upacara Karo, Hari raya terbesar masyarakat tngger aalah upacara karo atau hari raya karo. Masyarakat menyambutnya dengan suka cita dengan membeli pakaian baru, perabotan, makan, minuman, melimpah, dengan tujuan mengadakan pemujaan terhadap sang Hyang Widi Wasa.
c. Upacara Kapat, jatuh pada bulan ke empat, bertujuan untuk memohon brekah keselamatan serta selamat kiblat, yaitu pemujaan terhadap arah mata angin.
d. Upacara kawalu, jatuh pada bulan kedelapan, masyarakat mengirimkan sesaji ke kepala desa, dengan tujuan untuk kesehatan Bumi, air, api, angin, matahari, bulan dan bintang.
e. Upacara kasanga, jatuh pada bulan kesembilan. Masyarakat berkelilling desa dengan membunyikan kentongan dan membawa obor tujuannya adalah memohon keselamatan.
f. Upacara kasada, Jatuh pada saat bulan Purnama (ke dua belas) tahun saka, Upacara ini isebut sebagai upacara kuban
g. Upacara Unan, Unan, diadakan lima tahun sekali dengan tujuan mengaaan penghormatan terhadap roh leluhur.
1. Sistem Kemasyarakatan
Masyarakat tengger menjungjung tinggi nilai persamaan, demokrasi, dan kehidupan masyarakat, sosok seorang pemimpin spritual seperti duun lebih disegani dari pada pemimpin administratif. Masyarakat tengger memunyai hukum sendiri diluar hukum formal yang berlaku alam negara. Dengan hukum itu mereka sudah bisa mengatur an mengendalikan berbagi persoalan dalam kehidupan masyarakatnya.
1. Sistem Pengetahuan
Sistem Pengetahuan masyarakat tengger pada umumnya masih tradisional, an masih berorientasi paa kebudayan lama, namun karna aanya pengaruh dari luar melalui pariwisata maupun komunikasi maka sistem pengetahuannya sudah mulai mengacu ke sistem pengetahuan yang modern.
1. Sistem Mata Pencarian
Sistem mata pencarian masyarakat suku tengger kebanyakan adalah petani dan penambang, tanaman yang diusahakan adalah sayur-sayuran sedangakan dalam hal penambangan, yang ditambang adalah pasir dan belerang.

Kebudayaan Suku Toraja Dan Keunikannya

Suku Dunia ~ Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidendereng dan dari luwu. Orang Sidendreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebuatn To Riaja yang mengandung arti “Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan”, sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah  barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja, dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.

Adat Istiadat Suku Toraja


Rambu Solo adalah upacara adat kematian masyarakat Toraja yang bertujuan untuk menghormati dan menghantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan. Upacara ini sering juga disebut upacara penyempurnaan kematian karena orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruhprosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang sakit atau lemah, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman bahkan selalu diajak berbicara.

Puncak dari upacara Rambu solo ini dilaksanakan disebuah lapangan khusus. Dalam upacara ini terdapat beberapa rangkaian ritual, seperti proses pembungkusan jenazah, pembubuhan ornament dari benang emas dan perak pada peti jenazah, penurunan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan, dan proses pengusungan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir.

Selain itu, dalam upacara adat ini terdapat berbagai atraksi budaya yang dipertontonkan, diantaranya adu kerbau,kerbau-kerbau yang akan dikorbankan di adu terlebih dahulu sebelum disembelih, dan adu kaki. Ada juga pementasan beberapa musik dan beberapa tarian Toraja. Kerbau yang disembelih dengan cara menebas leher kerbau hanya dengan sekali tebasan, ini merupakan ciri khas masyarakat Tana Toraja. Kerbau yang akan disembelih bukan hanya sekedar kerbau biasa, tetapi kerbau bule Tedong Bonga yang harganya berkisar antara 10 hingga 50 juta atau lebih per ekornya.

Rumah Adat Suku Toraja


Tongkonan adalah rumah tradisional masyarakat Toraja, terdiri dari tumpukan kayu yang dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata “tongkon” berasal dari bahasa Toraja yang berarti tongkon “duduk”. Selain rumah, Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan rumah adat ini sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja. Oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena melambangkan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, Tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.

Kesenian Suku Toraja


Tanah toraja adalah salah satu daerah yang terkenal akan ukirannya. Ukiran ini menjadi kesenian khas suku bangsa Toraja di Sulawesi Selatan. Ukiran dibuat menggunakan alat ukir khusus di atas sebuah papan kayu, tiang rumah adat, jendela, atau pintu. Bukan asal ukiran, setiap motif ukiran dari Tana Toraja memiliki nama dan makna khusus. Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja. Selain itu, ukiran Tana Toraja memiliki sifat abstrak dan geometris. Tumbuhan dan hewan sering dijadikan dasar dari ornament Toraja.

Pakaian Adat Suku Toraja


Pakaian adat pria Toraja dikenal dengan Seppa Tallung Buku, berupa celana yang panjangnya sampai di lutut. Pakaian ini masih dilengkapi dengan asesoris lain, seperti kandaure, lipa', gayang dan sebagainya. Baju adat Toraja disebut Baju Pokko' untuk wanita. Baju Pokko' berupa baju dengan lengan yang pendek. Warna kuning, merah, dan putih adalah warna yang paling sering mendominasi pakaian adat Toraja. Baju adat Kandore yaitu baju adat Toraja yang berhiaskan Manik-manik yang menjadi penghias dada, gelang, ikat kepala dan ikat pinggang.

Peninggalan Suku Toraja


Londa adalah sebuah kompleks kuburan kuno yang terletak di dalam gua. Di bagian luar gua terlihat boneka-boneka kayu khas Toraja. Boneka-boneka merupakan replika atau miniatur dari jasad yang meninggal dan dikuburkan di tempat tersebut. Miniatur tersebut hanya diperuntukkan bagi bangsawan yang memiliki strata sosial tinggi, warga biasa tidak mendapat kehormatan untuk dibuatkan patungnya.

Kuburan Gua londa Tana Toraja adalah kuburan pada sisi batu karang terjal , salah satu sisi dari kuburan itu berada di ketinggian dari bukit mempunyai gua yang dalam dimana peti-peti mayat di atur dan di kelompokkan berdasarkan garis keluarga. Disisi lain dari puluhan tau-tau berdiri secara hidmat di balkon wajah seperti hidup mata terbuka memandang dengan penuh wibawah.

Makanan Khas Suku Toraja


Pa’piong merupakan makanan khas suku toraja yang mempunyai nama cukup unik dan berbahan dasar daging babi atau biasanya juga bisa daging ayam. Kalau biasanya daging babi atau ayam diolah di bakar atau di goreng atau bisa juga di rebus, masyarakat Toraja mengolah daging-daging tersebut dengan memasukkannya ke dalam bambu lalu di bakar. Seperti pengolahan nasi bambu. Tapi setelah di masak dengan bambu makanan ini kemudian diolah lagi dengan memanggang daging yang sudah dimasak dengan bambu. Proses pembuatannya sebelum dimasukkan kedalam bambu daging terlebih dahulu diolah dengan cara dicampurkan dengan rempah rempah dan bumbu yang kemudian ditambahkan dengan cabai local.

Jumat, 11 Maret 2016

Kebudayaan Suku Ambon

Ambon merupakan sebuah suku yang berada di sebagian besar kepulauan Maluku yang mencakup pulau Maluku itu sendiri dan sekitarnya. Sementara itu, penamaan Maluku diadopsi dari bahasa Arab, yaitu al-Muluk. Penamaan ini dikarenakan yang membuat peta daerah Maluku dahulu kala adalah sarjana geografi dari Arab, tetapi setelah masa pemerintahan kolonial Belanda, diubahnya menjadi Maluku. Baca juga Sejarah Suku Ambon

Suku Ambon atau Orang Ambon menjadi salah satu suku terbesar yang ada di Indonesia, mereka tersebar ke daerah-daerah lainnya di Indonesia. Suku Ambon juga terkenal akan eksotisme kebudayaannya. Hal ini dapat tercermin dari keragaman keseniannya dan hal-hal lainnya yang memperkaya keunikan mereka di mata dunia.

Rumah Adat Suku Ambon

Rumah adat Suku Ambon dinamakan Baileo, dipakai untuk tempat pertemuan, musyawarah dan upacara adat yang disebut seniri negeri. Rumah tersebut merupakan panggung dan dikelilingi oleh serambi. ATapnya besar dan tinggi terbuat dari daun rumbia, sedangkan dindingnya dari tangkai rumbia yang disebut gaba-gaba.

rumah-adat-baileo-suku-ambon

Pakaian Adat Suku Ambon

Prianya memakai pakaian adat berupa setelan jas berwarna merah dan hitam, baju dalam yang berenda dan ikat pinggang. Sedangkan wanitanya memakai baju cele, semacam kebaya pendek, dan berkanji yang disuji. Perhiasannya berupa anting-anting, kalung dan cincin. Pakaian ini berdasarkan adat Ambon.

pakaian-adat-suku-ambon

Tarian Suku Ambon

Tarian Bambu Gila merupakan tarian paling terkenal dari orang Ambon. Tarian ini juga dikenal dengan nama Buluh Gila atau Bara Suwen. Untuk memulai pertunjukan ini sang pawang membakar kemenyan di dalam tempurung kelapa sambil membaca mantra dalam ‘bahasa tanah’ yang merupakan salah satu bahasa tradisional Ambon. Kemudian asap kemenyan dihembuskan pada batang bambu yang akan digunakan. Jika menggunakan jahe maka itu dikunyah oleh pawang sambil membacakan mantra lalu disemburkan ke bambu. Fungsi kemenyan atau jahe ini untuk memanggil roh para leluhur sehingga memberikan kekuatan mistis kepada bambu tersebut. Roh-roh inilah yang membuat batang bambu seakan-akan menggila atau terguncang-guncang dan semakin lama semakin kencang serta sulit untuk dikendalikan.

tarian-suku-ambon

Makanan Khas Suku Ambon

Belum lengkap makan tanpa Papeda, begitulah kata orang-orang ambon, makanan yang berasal dari sagu mentah ini bernama Papeda, papeda biasanya dimakan dengan ikan kuah kuning, jangan tanya rasanya, kalau kata orang ambon “Paleng Sadap Seng Ada Lawang” yang artinya sangat enak dan tidak ada tandinganya. Papeda merupakan makanan Tradisional Ambon. Makanan ini sudah menjadi turun temurun bagi anak cucu orang ambon, orang ambon biasanya sebelum makan nasi terlebih dahulu memakan papeda, selanjutnya baru makan nasi.

makanan-khas-suku-ambon

Agama dan Kepercayaan Suku Ambon

Sekarang orang Ambon sudah memeluk agama Islam atau Kristen. Jumlah pemeluk agama Islam sedikit lebih banyak, dan mereka umumnya lebih terampil dalam bidang perdagangan dan ekonomi umumnya. Sedangkan orang Ambon pemeluk agama Kristen lebih banyak memilih pekerjaan sebagai pegawai negeri, guru, dan tentara. Namun kehidupannya sehari-hari mereka masih menjalankan kegiatan adat tertentu dari kebudayaan lama, dan menjadi salah satu identitas kesukubangsaan yang menonjol, seperti mengadakan upacara Nae Baileu atau upacara Cuci Negeri yang merupakan warisan kepercayaan nenek moyang mereka. Dalam menangani masalah kematian dan pelaksanaan upacaranya mereka selesaikan lewat kesatuan sosial adat yang disebut mubabet.

Adat Dan Kebudayaan Suku Bugis

Suku Bugis atau to Ugi‘ adalah salah satu suku di antara sekian banyak suku di Indonesia. Mereka bermukim di Pulau Sulawesi bagian selatan. Namun dalam perkembangannya, saat ini komunitas Bugis telah menyebar luas ke seluruh Nusantara.
Penyebaran Suku Bugis di seluruh Tanah Air disebabkan mata pencaharian orang–orang bugis umumnya adalah nelayan dan pedagang. Sebagian dari mereka yang lebih suka merantau adalah berdagang dan berusaha (massompe‘) di negeri orang lain. Hal lain juga disebabkan adanya faktor historis orang-orang Bugis itu sendiri di masa lalu.
Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras, The Bugis, 2006).
Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaan komunitasnya. Kata “Bugis” berasal dari kata to ugi, yang berarti orang Bugis.
Penamaan “ugi” merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Cina, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We‘ Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu‘, ayahanda dari Sawerigading.
Sawerigading sendiri adalah suami dari We‘ Cudai dan melahirkan beberapa anak, termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar. Sawerigading Opunna Ware‘ (Yang Dipertuan Di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo, dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton (Sumber : id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis).

Peradaban awal orang–orang Bugis banyak dipengaruhi juga oleh kehidupan tokoh-tokohnya yang hidup di masa itu, dan diceritakan dalam karya sastra terbesar di dunia yang termuat di dalam La Galigo atau sure‘ galigo dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio dan juga tulisan yang berkaitan dengan silsilah keluarga bangsawan, daerah kerajaan, catatan harian, dan catatan lain baik yang berhubungan adat (ade‘) dan kebudayaan–kebudayaan di masa itu yang tertuang dalam Lontara‘. Tokoh–tokoh yang diceritakan dalam La Galigo, di antaranya ialah Sawerigading, We‘ Opu Sengngeng (Ibu Sawerigading), We‘ Tenriabeng (Ibu We‘ Cudai), We‘ Cudai (Istri Sawerigading), dan La Galigo(Anak Sawerigading dan We‘ Cudai).

Tokoh–tokoh inilah yang diceritakan dalam Sure‘ Galigo sebagai pembentukan awal peradaban Bugis pada umumnya. Sedangkan di dalam Lontara‘ itu berisi silsilah keluarga bangsawan dan keturunan–keturunannya, serta nasihat–nasihat bijak sebagai penuntun orang-orang bugis dalam mengarungi kehidupan ini. Isinya lebih cenderung pada pesan yang mengatur norma sosial, bagaimana berhubungan dengan sesama baik yang berlaku pada masyarakat setempat maupun bila orang Bugis pergi merantau di negeri orang.
Konsep Ade‘ (Adat) dan Spiritualitas (Agama)
Konsep ade‘ (adat) merupakan tema sentral dalam teks–teks hukum dan sejarah orang Bugis. Namun, istilah ade‘ itu hanyalah pengganti istilah–istilah lama yang terdapat di dalam teks-teks zaman pra-Islam, kontrak-kontrak sosial, serta perjanjian yang berasal dari zaman itu. Masyarakat tradisional Bugis mengacu kepada konsep pang‘ade‘reng atau “adat istiadat”, berupa serangkaian norma yang terkait satu sama lain.

Selain konsep ade‘ secara umum yang terdapat di dalam konsep pang‘ade‘reng, terdapat pula bicara (norma hukum), rapang (norma keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat), wari‘ (norma yang mengatur stratifikasi masyarakat), dan sara‘ (syariat Islam) (Mattulada, Kebudayaan Bugis Makassar : 275-7; La Toa). Tokoh-tokoh yang dikenal oleh masyarakat Bugis seperti Sawerigading, We‘ Cudai, La Galigo, We‘ Tenriabeng, We‘ Opu Sengngeng, dan lain-lain merupakan tokoh–tokoh yang hidup di zaman pra-Islam.

Tokoh–tokoh tersebut diyakini memiliki hubungan yang sangat erat dengan dewa–dewa di kahyangan. Bahkan diceritakan dalam La Galigo bahwa saudara kembar dari Sawerigading yaitu We‘ Tenriabeng menjadi penguasa di kahyangan. Sehingga konsep ade‘ (adat) serta kontrak-kontrak sosial, serta spiritualitas yang terjadi di kala itu mengacu kepada kehidupan dewa-dewa yang diyakini. Adanya upacara-upacara penyajian kepada leluhur, sesaji pada penguasa laut, sesaji pada pohon yang dianggap keramat, dan kepada roh-roh setempat menunjukkan bahwa apa yang diyakini oleh masyarakat tradisional Bugis di masa itu memang masih menganut kepercayaan pendahulu-pendahulu mereka.
Namun, setelah diterimanya Islam dalam masyarakat Bugis, banyak terjadi perubahan–perubahan terutama pada tingkat ade‘ (adat) dan spiritualitas. Upacara–upacara penyajian, kepercayaan akan roh-roh, pohon yang dikeramatkan hampir sebagian besar tidak lagi melaksanakannya karena bertentangan dengan pengamalan hukum Islam. Pengaruh Islam ini sangat kuat dalam budaya masyarakat bugis, bahkan turun-temurun orang–orang bugis hingga saat ini semua menganut agama Islam.

Pengamalan ajaran Islam oleh mayoritas masyarakat Bugis menganut pada paham mazhab Syafi‘i, serta adat istiadat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri. Budaya dan adat istiadat yang banyak dipengaruhi oleh budaya Islam tampak pada acara-acara pernikahan, ritual bayi yang baru lahir (aqiqah), pembacaan surat yasin dan tahlil kepada orang yang meninggal, serta menunaikan kewajiban haji bagi mereka yang berkemampuan untuk melaksanakannya.
Faktor-faktor yang menyebabkan masuknya Islam pada masyarakat Bugis kala itu juga melalui jalur perdagangan dan pertarungan kekuasaan kerajaan-kerajaan besar kala itu. Setelah kalangan bangsawan Bugis banyak yang memeluk agama Islam, maka seiring dengan waktu akhirnya agama Islam bisa diterima seluruh masyarakat Bugis. Penerapan syariat Islam ini juga dilakukan oleh raja-raja Bone, di antaranya napatau‘ matanna‘ tikka‘ Sultan Alimuddin Idris Matindroe‘ Ri Naga Uléng, La Ma‘daremmeng, dan Andi Mappanyukki.

Konsep–konsep ajaran Islam ini banyak ditemukan persamaannya dalam tulisan-tulisan Lontara‘. Konsep norma dan aturan yang mengatur hubungan sesama manusia, kasih sayang, dan saling menghargai, serta saling mengingatkan juga terdapat dalam Lontara‘. Hal ini juga memiliki kesamaan dalam prinsip hubungan sesama manusia pada ajaran agama Islam.
Budaya–budaya Bugis sesungguhnya yang diterapkan dalam kehidupan sehari–hari mengajarkan hal–hal yang berhubungan dengan akhlak sesama, seperti mengucapkan tabe‘ (permisi) sambil berbungkuk setengah badan bila lewat di depan sekumpulan orang-orang tua yang sedang bercerita, mengucapkan iyé (dalam bahasa Jawa nggih), jika menjawab pertanyaan sebelum mengutarakan alasan, ramah, dan menghargai orang yang lebih tua serta menyayangi yang muda. Inilah di antaranya ajaran–ajaran suku Bugis sesungguhnya yang termuat dalam Lontara‘ yang harus direalisasikan dalam kehidupan sehari–hari oleh masyarakat Bugis.
Manusia Bugis
Sejarah orang–orang Bugis memang sangat panjang, di dalam teks–teks sejarah seperti karya sastra La Galigo dan Lontara‘ diceritakan baik awal mula peradaban orang–orang Bugis, masa kerajaan–kerajaan, budaya dan spritualitas, adat istiadat, serta silsilah keluarga bangsawan. Hal ini menunjukkan bahwa budaya dan adat istiadat ini harus selalu dipertahankan sebagai bentuk warisan dari nenek moyang orang–orang Bugis yang tentunya sarat nilai-nilai positif.

Namun saat ini ditemukan juga banyak pergeseran nilai yang terjadi baik dalam memahami maupun melaksanakan konsep dan prinsip-prinsip ade‘ (adat) dan budaya masyarakat Bugis yang sesungguhnya. Budaya siri‘ yang seharusnya dipegang teguh dan ditegakkan dalam nilai–nilai positif, kini sudah pudar. Dalam kehidupan manusia Bugis–Makassar, siri‘ merupakan unsur yang prinsipil dalam diri mereka. Tidak ada satu nilai pun yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi selain siri‘.
Bagi Manusia Bugis-Makassar, siri‘ adalah jiwa mereka, harga diri mereka, dan martabat mereka. Sebab itu, untuk menegakkan dan membela siri‘ yang dianggap tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka manusia Bugis-Makassar bersedia mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya siri‘ dalam kehidupan mereka.(Hamid Abdullah, Manusia Bugis-Makassar .37).
Di zaman ini, siri‘ tidak lagi diartikan sebagai sesuatu yang berharga dan harus dipertahankan. Pada prakteknya siri‘ dijadikan suatu legitimasi dalam melakukan tindakan–tindakan yang anarkis, kekerasan, dan tidak bertanggung jawab. Padahal nilai siri‘ adalah nilai sakral masyarakat bugis, budaya siri‘ harus dipertahankan pada koridor ade‘ (adat) dan ajaran agama Islam dalam mengamalkannya.
Karena itulah merupakan interpretasi manusia Bugis yang sesungguhnya. Sehingga jika dilihat secara utuh, sesungguhnya seorang manusia bugis ialah manusia yang sarat akan prinsip dan nilai–nilai ade‘ (adat) dan ajaran agama Islam di dalam menjalankan kehidupannya, serta sifat pang‘ade‘reng (adat istiadat) melekat pada pribadi mereka.
Mereka yang mampu memegang teguh prinsip–prinsip tersebut adalah cerminan dari seorang manusia Bugis yang turun dari dunia atas (to manurung) untuk memberikan keteladan dalam membawa norma dan aturan sosial di bumi