Penduduk pulau Nias saat ini hampir setengah juta, Adat-istiadatnya bisa dibilang unik dan rumit, juga beragam. Nias terutama terkenal dengan pembedaan kedudukan sosial di berbagai masyarakat desa, terdapat persaingan guna meningkatkan kedudukan, serta begitu besar mereka bersandar pada perayaan dan pengerahan tenaga dalam usaha untuk menghormati leluhur. Tradisi ini mengalami perubahan besar sejak abad lalu, meski demikian, mereka tidak kehilangan semangat untuk bersaing.
Kedudukan dan Masyarakat
Masyarakat Nias terbagi menjadi bangsawan atau raja, yang pada dasarnya merupakan keturunan para pendiri desa; rakyat biasa atau rakyat kebanyakan, yang memiliki kewenangan memerintah; danSawuyu atau “budak” yang dahulu milik kaum ningrat dan tinggal di luar desa. Meski kini struktur kekuasaan tersebut sepertinya telah hilang dan sistem sosial itu telah memudar, namun pengaruhnya masih terasa sangat kuat hingga hari ini.
Semua keluarga bangsawan di Nias Tengah dan Selatan dianggap berasal dari keturunan Hia, leluhur yang konon turun dari dunia atas ke tempat yang dikenal sebagai Sifalagao di Gomo, Nias Tengah. Rakyat biasa hanya dapat merunut silsilah mereka sampai beberapa generasi. Marga bangsawan yang sangat berwibawa di setiap desa adalah yang mengaku sebagai keturunan langsung pendiri desa.
Kedudukan dan kebesaran Bangsawan tercermin dari sebutan mereka: Salaha (tinggi) atau Si’ulu (yang di atas), sedang rakyat biasa disebut sihono (si seribu) atau sato (umum). Bahkan harta milik para bangsawan menandai kedudukan mereka; juga rumah yang besar, tutup kepala paling tinggi, dan duduk di tempat paling tinggi saat upacara. Si’ulu juga dapat dimaknai sebagai anak dari surga atau titisan dewa bumi.
Hal di atas diperoleh melalui warisan dan pembuatan emas permata dan perhiasan serta kepemilikan rumah yang besar, menjadikan para bangsawan dapat mempertahankan kedudukan. Benda-benda tersebut berfungsi sebagai “pemberitahuan” kepada orang lain mengenai kedudukan tinggi mereka sekaligus sebagai penghubung antara bangsawan dan leluhur mereka. Di Nias Selatan, pencitraan tentang permata pusaka yang dimiliki keluarga terukir di dinding rumah untuk mengingat leluhur dan kedudukan tinggi keluarga tersebut.
Meski para bangsawan memiliki kekayaan melimpah, ukuran seseorang itu kaya adalah didasarkan atas emas-permata yang dimilikinya, Saat ini, pria Nias yang menikah tak cukup hanya mengumpulkan babi dan emas; emas harus dijadikan perhiasan kemudian diadakan perayaan untuk menahbiskannya; ratusan babi disembelih. Selain untuk menyatakan dan menunjukkan kekayaan dalam perayaan –disebut owasa di Nias utara atau tawila di Nias Selatan–para bangsawan yang menyelenggarakan perayaan tersebut akan mendapat gelar baru dan hak-hak istimewa lainnya. Sementara pemimpin desa akan ditunjuk dan dipilih oleh Orahua, majelis desa yang terdiri dari para bangsawan yang berpengaruh.
Upacara-Upacara
Orang Nias percaya bahwa, di atas langit ada sembilan tingkatan surga dan pada tingkatan yang paling atas itu bersemayam Lowalangi (Dewa Surga). Sementara mereka juga mempercayai ada sembilan tingkatan lain di bawah bumi yang dikuasai oleh Latura (Dewa Kematian).
Masyarakat Nias menggelar ritual dan upacara pengorbankan hewan yang ditujukan bagi Lowalangi. Sesajian seperti telur, hasil bumi, tuak, dan air ditujukan bagi roh para leluhur dan alam. Ritual lainnya hadir pada saat perayaan pernikahan, upacara kematian atau pemakaman dan pesta-pesta yang digelar oleh kaum bangsawan.
Meski bangsawan berhak atas kedudukan karena keturunan, gelar Si’ulu harus disahkan melalui perayaan. Sebelum mengadakan perayaan yang disyaratkan itu, seseorang belum dapat menerima dan berhak atas gelar kehormatan baru; hanya setelah mengelenggarakan owasa, seseorang akan diakui sebagai Si’ulu.
Dalam owasa, setiap orang berusaha “saling mengalahkan”, misalnya martabat akan terangkat oleh semakin besar jumlah babi yang disediakan; dagingnya kemudian akan dibagikan di pesta kepada masyarakat sesuai peringkat dan golongan, pemberian daging juga menujukan rasa hormat pada tamu. Pemberian daging pada owasa juga mengandung unsur suci karena orang Nias “menganggap diri ” sebagai babi-babi para dewa, sehingga kurban babi melambangkan kurban manusia. Dengan Kata lain, pamor seseorang tidak diukur dari jumlah kekayaan yang dihimpun, tetapi oleh kemampuannya menghimpun kekayaan untuk dibagikan.
Unsur penting lain penataan dan penyelenggaraan owasa ialah kerja sama terus-menerus antara kepala suku dan penduduk desa, bangsawan, dan rakyat biasa yang dukungannya sangat dibutuhkan untuk mengumpulkan barang-barang keperluan perayaan. Para bangsawan perempuan juga dapat membiayai perayaan sendiri. Yang menarik, Seorang Pria akan memakaikan perhiasan emas untuk istrinya lebih dahulu sebelum dirinya sebagai rasa hormat pada keluarga istri.
Rakyat kebanyakan juga diizinkan mengadakan perayaan rakyat kecil-kecilan. Tentu saja kalau mereka sudah cukup makmur, mereka diharapkan melakukannya. Meski demikian mereka tidak lah berhak mengenakan perhiasan permata sebanyak yang dikenakan kaum bangsawan dan tidak diizinkan terlalu sering mengadakan perayaan; juga dilarang mengadakan pesta untuk meningkatkan kedudukan ke tingkat bangsawan.
Pada pesta selamatan yang besar ini, para bangsawan berusaha memperoleh hak untuk bergabung dengan leluhur yang di-Dewa-kan. Hal tersebut dilakukan dengan mendirikan tugu dan batu peringatan. Tugu-tugu tersebut berupa singgasana batu yang disebut osa-osa, yang dihias kepala hewan dan bangunan batu tegak. Permukaan batu diukir sebagai peringatan bagi para pemimpin penting.
Jenis perayaan lain, fondrako, juga tercatat dalam pustaka Nias. Beberapa sumber menyebutkan bahwa perayaan itu diadakan untuk mempertegas hukum adat dan juga penghapusan dosa bagi pelanggaran hukum yang mungkin akan dapat mengacaukan keseimbangan jagad raya. Fondrako pada dasarnya sumpah yang diikrarkannya pada pembentukan ori (kumpulan desa) ketika para kepala desa anggota berkumpul untuk menentukan nilai tukar berbagai barang, pembakuan timbangan dan ukuran, serta pengaturan kepentingan.
Fondrako menegaskan kutuk terhadap siapa pun yang melanggar ketetapan. Konon Fondrako pertama diadakan oleh Hia yang terkenal dari Gomo, dan setiap kali ada anggota desa yang memisahkan diri untuk membangun desa baru, diadakan fondrako untuk menegaskan ulang aturan tersebut; selalu ada babi yang dikorbankan.
Pelanggaran terhadap aturan leluhur diyakini mendapat hukuman berupa sakit dan petaka; dan upacara penghapusan dosa harus dilaksanakan dengan cara membuat patung adu horo yang tinggi dan hiasan kepala memakai batang bercabang. Dahulu para pendeta harus memakai tutup kepala dari kayu yang berbentuk garpu pada upacara fondrako.
Masyarakat Nias hingga saat ini masih merayakan berbagai upacara dan pesta dengan tarian-tarian, pertandingan, dan ritual-ritual keprajuritan. Di antara acara itu yang paling spektakuler adalah tarian perang, sebuah pertunjukkan yang selalu hadir dalam setiap gelaran upacara Nias.
Leluhur dan Dewa
Setelah kematian, hubungan dengan leluhur tetap berlangsung. Patung kayu yang disebut adu dan patung roh leluhur yang dipahat sebagai perantara antara orang yang masih hidup dengan yang telah mati. Patung-patung kecil yang menggambarkan orang yang telah meninggal ditempatkan pada tiang rumah keluarga, dan sesajen makanan diletakkan di altar adu.
Orang yang masih hidup mencoba berhubungan dengan roh karena berbagai alasan, misalnya memberitahukan adanya kelahiran atau pernikahan; juga meminta bantuan untuk mengawasi keberuntungan anggota keluarga. Dipercaya secara luas bahwa leluhur melindungi orang yang masih hidup, sebaliknya yang masih hidup harus mematuhi semua peraturan yang dibuat para leluhur, meliputi adat dan aturan perkawinan, segi tata susun sosial, dan sebagainya. Sebagai imbalan, leluhur akan menjamin kelestarian kesejahteraan masyarakat.
Pada masa lalu, permintaan terakhir dari seorang raja sebelum ia meninggal haruslah dituruti. dan kuburan para bangsawan itu, selain emas-emas atau barang berharga lainnya akan ikut dikubur bersamanya.
Jenazah ditempatkan di sebuah altar yang terlebih dahulu dihias dengan daun dan tanaman sebagai wewangian, tujuannya agar kedatangan arwah-nya kelak jika kembali ke kampung atau rumah dikenali berdasarkan wewangian tersebut.
Orang Nias akan menggelar upacara dan ritual kematian dan penguburan dengan nyanyian, pesta dan tari-tarian yang dapat berlangsung lebih dari empat hari. Selama upacara itu tidak diperbolehkan ada kegiatan upacara selain upacara berkabung tersebut. Jasad biasanya akan dikuburkan pada hari ketiga. sebuah patung kayu yang disebut adu dibuat di dekat makam agar arwah tinggal di dalamnya dan tidak kembali.
Prajurit Nias
Perlindungan bagi Si’ulu dipercayakan para kesatria-kesatria terbaik yang setia dan direkrut oleh para bangsawan. Mereka dilengkapi dengan berbagai persenjataan seperti pedang yang dihiasi taring dan gigi buaya. Sementara gigi harimau hanya boleh dimiliki oleh para prajurit terbaik dan pemimpin.
Prajurit Nias berpakaian serba hitam, seringkali mengenakan topeng dari serat-sera agar wujudnya lebih menyeramkan. Dahulu, para prajurit bersenjata menyambut tamu terhormat di pintu gerbang desa dan mendampingi menghadap kepala suku sebagai tindakan berjaga-jaga apabila ternyata ia adalah musuh. Para prajurit juga menari dengan mengenakan pakaian perang lengkap pada upacara perkawinan, pemakaman, upacara panen, dan selamatan. Konon, Hal itu dipercaya dapat mengusir roh jahat.
Di Nias selatan, para pemuda di latih melompati dinding batu, latihan untuk menyiapkan mereka menghadapi perang. Kini, melompati batu digelar untuk hiburan. Tiang batu, yang disebut hambo batu, tempat para pemuda latihan melompat, masih dapat dijumpai di banyak desa di Nias sebagai kegiatan atletis yang dapat menunjukkan kemampuan dan keahlian seseorang Nias.
Arsitektur dan Megalitik
Arsitektur orang Nias terkenal akan pondasinya yang Terdiri dari pengaturan yang cukup rumit dengan susunan tiang tegak dan miring. Bangunan Nias benar-benar dirancang agar tahan tahan goncangan dari gempa bumi. Meski tiangnya kokoh, di sisi lain tiang-tiang bangunan Nias memiliki tingkat kelenturan karena tidak secara langsung dipancangkan ke dalam tanah melainkan hanya tertumpu di atas pondasi batu.
Rumah-rumah Nias kebanyakan berbahan kayu yang diberi berbagai hiasan dan corak yang khas. Atap bangunan yang curam dan pada bagian atap terdapat “jendela” yang dapat dibuka, untuk memastikan sinar matahari masuk dalam ruangan serta berfungsi memberikan sirkulasi udara yang baik. Atap rumah Nias memiliki kekhasan-nya tersendiri. Atap rumah itu dibangun sangat tinggi ditutupi serat-serat palem–kekinian atap rumah dibuat dari seng dan beberapa juga telah menggunakan bahan lain dalam membangun rumah.
Rumah-rumah orang Nias Utara dibedakan oleh denah lantai dasarnya yang khas karena berbentuk lonjong. Bagian atapnya terdiri atas struktur lebih ringan dengan bagian ruangan bawah atap yang dibuat tanpa penghalang. Hal ini memungkinkan tingkat atas dari lantainnya sebagai tempat tinggal utama.
Rumah dari kepala suku atau bangsawan disebut omo sebual. Bangunan yang sangat berbeda dengan rumah kebanyakan. Selain dari segi arsitektur rumah, omo sebual banyaknya dihias dengan “simbol-simbol perang dan juga patung di sekitarnya. Tugu-tugu batu megalit nampak diletakan di depan pelataran, biasanya sebagai tempat berkumpul bagi masyarakat . Batu ini tidak hanya terdiri dari bentuk menhir, tetapi juga ada yang berbentuk bangku panjang, dan bangku bundar dan juga singgasana bari seorang Raja.
Tugu-tugu batu (oli batu) yang terdapat di depan rumah dapat menujukan status sosial pemilik rumah. Biasanya sebagai tanda atau peringatan dan penghargaan atas jasanya–dan jasa leluhurnya–pada masa lalu.
Tidak sembarangan untuk mendirikan tugu batu. Dalam pendirian menhir faulu diatur oleh adat dan disahkan oleh ketua adat. Hak untuk mendirikan tugu diatur oleh majelis desa yang anggotanya akan mempertimbangkan: Mokho (kekayaan), Molakhomi (kepemimpinan), Faasia (usia atau umur), Onekhe (kecerdasan atau kemahiran).
Dilihat dari segi tata ruang Desa, Masyarakat Nias umumnya membangun rumah dalam dua jajar rumah (kiri dan kanan) yang mengapit jalan utama atau ewali dengan lantai-laintai batu sebagai alasnya. Selain sebagai rumah untuk tempat tinggal), Orang Nias juga mengenal istilah rumah yang digunakan sebagai tempat pertemuan yang disebut bale. Letak bale ini biasanya berada di dekat rumah kepala adat dan berada di dekat area kosong yang cukup luas (gorahua newali)
Dahulu, ketika masih sering terjadi peperangan dan penyerbuan dari wilayah lain, desa biasanya akan dilindungi oleh pagar dari tiang bambu yang telah diruncingkan dengan parit yang dalam di belakang pagar. Sedangkan pada pertahanan dalam dilindungi dinding dari batu yang cukup tebal dengan hanya memiliki satu pintu masuk yang selalu dijaga oleh prajurit terbaik yang tinggal di rumah-rumah jaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar